Senin, 06 Oktober 2008

Nabi mana yang asli? tolong angkat tangan kalian

( 1 sam 7:15-22 )

By: Eddy wayan

Mahasiswa Theologia UKSW, Salatiga

Di suatu desa, hiduplah seorang tukang pembuat tembikar atau benda keramik seperti guci, tempayan, dan perabotan rumah tangga yang lain. Ia hidup di keluarga yang miskin dan di tempat yang tandus. Dengan hanya memiliki sebidang tanah saja ia berusaha menghidupi saudara-saudaranya. Satu cita-citanya adalah merubah daerah yang tandus ini menjadi daerah yang makmur. Namun dengan keterampilannya, yang hanya bisa membuat keramik dengan mengolah tanah yang tandus itu, apa yang bisa ia lakukan? kemudian ia mulai berfikir, mengapa saya tidak mengajarkan ketrampilan ini kepada masyarakat disini? Dengan demikian setidaknya mereka dapat mendapat penghasilan sehingga mereka bisa menghidupi keluarga mereka. Akhirnya ia-pun membagikan keahliannya kepada penduduk setempat. mulai terjadi perubahan dalam masyarakat dan akhirnya daerah itu menjadi penghasil keramik yang cukup punya nama. kebutuhan semakin meningkat, dan dengan mengandalkan keahliannya, ia pun merantau dan mangadu nasib di kota. Ia terkejut melihat harga yang jauh lebih tinggi di banding harga di desanya. Kemudian ia memikirkan kembali cita-citanya yaitu membantu masyarakat di desanya. Ia-pun menjadi penyalur keramik-keramik dari desanya ke kota. Beberapa puluh tahun lamanya, ia tidak pernah pulang ke desa itu, dan ketika ia pulang, ia menangis terharu melihat desa yang tadinya tandus, menjadi sebuah tempat yang sangat makmur. Didesa itu, ada sebuah keramik yang sangat tua yang letaknya di pusat perkampungan itu. Setiap harinya, ketika ada orang baru datang, maka mereka harus mencocokan telapak tangan mereka pada corak yang berbentuk telapak tangan pada sisi keramik itu. Konon tradisi itu mereka lakukan sejak kepergian pemuda ini ke kota. Sesekali ada orang yang telapak tangan mereka sama dengan corak yang ada di keramik itu, masyarakat didesa itu pun memperlakukan orang itu dengan sangat baik layaknya seorang raja. Ketika ia tiba di pusat daerah itu, ia melihat keramik yang ia tinggalkan berpuluh tahun yang lalu. Ia pengambil batu dan memecahkan keramik itu sampai hancur. Masyarakat sangat marah melihat tindakannya, dan hendak mengadilinya. Ketika mereka menanyakan alasan mengapa ia memecahkan keramik itu, ia pun menjawab; “di dalam keramik itu ada sepucuk surat yang bertuliskan tentang penyesalanku dilahirkan di keluarga dan masyarakat yang miskin ini, di tempat yang sangat tandus”. Sekarang penyesalan itu harus aku bakar menjadi abu, karena penyesalan itu sudah berubah menjadi kebahagiaan dan rasa syukurku karena aku dilahirkan di tempat ini. Telapak tangan pada sisi keramik itu adalah bekas tanganku memukul keramik itu, ketika menyesali hanya ini keahlianku. Kemudian ia bertanya kepada mereka katanya; mengapa setiap orang yang datang harus mencocokan telapak tangan mereka pada keramik ini? Masyarakat itu-pun menjawab; hari ini adalah saat dimana engkau menjadi raja kami, karena jika tanpa-mu kami tidak akan seperti sekarang ini. Dan engkaulah seorang yang Tuhan utus untuk menolong kami.

Perjuangan bangsa Israel dalam mengangkat derajat mereka menjadi bangsa yang merdeka, sama halnya dengan kisah bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Pada masa dimana kita sebagai bangsa yang terjajah, ada banyak muncul tokoh tokoh reformasi. Pengorbanan yang mereka lakukan sangat besar tanpa pamrih. Pengorbnanan seperti ini jarang terjadi di zaman sekarang ini. Alasannya adalah, karna kita sudah tidak punya lagi jiwa persatuan dan jiwa patriotik. Dikondisikan seperti ini, sehingga mentalitas bangsa menjadi sangat hancur. Orang Indonesia sudah tidak punya tujuan yang pasti dalam menata dan memikirkan masa depan bangsa. Ada beberapa faktror yang mungkin dapat menjadi perbincangan lebih lanjut.

Faktor yang pertama adalah kurangnya kesadaran saling memiliki, artinya bahwa setiap orang memiliki potensi untuk berbuat curang. Seperti ketika seorang pemimpin memiliki kekuasaan penuh, maka dalam kenyataannya, mereka lebih cenderung memikirkan keuntungan apa yang akan ia dapat dari kekuasaanya. Menjadi seorang pemimpin bukan digunakan untuk memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan untuk kesejahteraan bawahannya, melainkan cenderung menindas yang lebih lemah.

Faktor yang berikutnya, bahwa banyak generasi muda yang terbuai dengan masa muda yang penuh dengan kesenangan. Pengaruh perkembangan jaman sehingga membuat mereka mudah melakukan apa saja yang mereka inginkan. Orang bilang dijaman sekarang ini, semua serba “instan” semua bisa diraih dengan cepat tanpa sebuah proses yang memakan waktu. Ketika manusia terbiasa dengan kemudahan-kemudahan yang relative cepat, kemudahan dan kenyamanan semakin tinggi, orang sudah tidak akan memiliki kemampuan bertahan hidup dalam situasi susah, atau memikirkan masa depan dengan belajar dari proses atau pengalaman yang bertahap.

Dari dua contoh diatas, kita bisa mengatakan bahwa dari orang tua-tua, sampai generasi yang lebih muda, sudah kurang kesadaran dalam memikirkan arah tujuan bangsa ini. Yang tua tidak bisa menjadi contoh bagi yang muda, sedangkan yang muda tidak lagi memiliki inisiatif merubah situasi. Walaupun reformator-reformator muda masih ada, namun tidak lagi memiliki kebulatan tekad seperti dalam masa-masa pra kemerdekaan. Dikala kebutuhan semakin membuat mereka enggan untuk memikirkan kebutuhan orang banyak. Mereka pun menjadi tokoh hanya sebatas memikirkan saja tanpa melakukan suatu tindakan yang nyata.

Melihat apa yang menjadi dasar dari fikiran diatas, kita akan menyusuri sejarah julukan “nabi” dalam perjanjian lama. Bahwa seorang yang di beri gelar “nabi” adalah mereka yang memiliki kepekaan dalam spiritual dan dalam kehidupan sosial. Artinya bahwa secara pribadi mereka dapat menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam iman Kristen menyebut dengan istilah “menjaga kekudusan” namun, di lain sisi mereka juga aktif dan peduli terhadap keadilan yang menyangkut orang banyak. Semua keputusan dan tindakannya harus selalu berdasarkan realitas sosial dan atas rasa empati yang dalam dari hati nuraninya. Alkitab sering menyebut kata “hikmat” sebagai dasar dalam semua keputusan seorang nabi. Artinya bahwa seorang nabi sendiri harus memiliki sifat yang tidak bertindak semena-mena atau tanpa memikirkan orang lain.

Nabi bukanlah orang yang turun dari langit atau selalu seorang keturunan raja, melainkan muncul dari tengah masyarakat dan dari bentuk ketidak adilan yang terjadi di masyarakat tersebut. Pada masa kini , masih adakah sosok seorang nabi yang masih hidup? Jawabanya hanya jika kita memahami bilamana seseorang diberi julukan nabi. Anggapan umum kita, bahwa julukan nabi hanya di peruntukan bagi orang yang hidup pada Zaman penulisan Alkitab saja. Atau pada masa kerajaan Daud. Mengapa demikian? Kita sering terlalu melihat bahwa kebudayaan pra-sejarah yang ada dalam Alkitab adalah kebudayaan yang sangat kental dengan kejadian-kejadian mistik, seperti cerita air bah, sepuluh tulah bagi bangsa mesir dan lain sebagainya, anggapan kita bahwa dulu Allah sangat dekat dengan manusia bahkan sering di ceritakan jika, orang-orang tertentu bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, sementara orang sekarang sudah kehilangan kepercayaan dari Allah. Benarkah demikian? Atau sebenarnya cerita di zaman Daud dan nabi-nabinya hanya sebuah pesan yang memiliki maksud atau tujuan lain? Tanpa harus mengurangi cerita atau kebenaran Alkitab, saya ingin melihat apa saja yang pernah bangsa Israel alami di masa munculnya nabi-nabi.

Meskipun diberi judul Samuel, kitab ini lebih mengisahkan terben­tuknya kerajaan Israel yang baru berhasil sepenuhnya di masa raja Daud. Kisah tentang Samuel dimulai pada awal kitab ini, yakni 1 Sam 1:1-28, dan kemudian bagaimana ia mulai berperan sebagai Nabi? Samuel adalah nabi yang nantinya juga mengurapi daud menjadi raja israel.

Tidak ada komentar: