Sabtu, 09 Mei 2009

Kupu-kupu

Seorang menemukan kepompong seekor kupu-kupu. Suatu hari ada lubang kecil muncul. Dia duduk dan mengamati dalam beberapa jam kupu-kupu itu ketika dia berjuang dengan memaksa dirinya melewati lubang kecil itu. Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi. Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya, dia ambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu. Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya. Namun, dia mempunyai tubuh gembung dan kecil, sayap-sayap mengkerut.
Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, pada suatu saat, sayap-sayap itu akan mekar dan melebar sehingga mampu menopang tubuhnya, yang mungkin akan berkembang dalam waktu. Semuanya tak pernah terjadi. Kenyataannya, kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut.
Dia tidak pernah bisa terbang. Yang tidak dimengerti dari kebaikan dan ketergesaan orang tersebut adalah bahwa kepompong yg menghambat dan perjuangan yg dibutuhkan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil adalah jalan Tuhan untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya sedemikian sehingga dia akan siap terbang begitu dia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut.
Kadang-kadang perjuangan adalah yang kita perlukan dalam hidup kita. Jika Tuhan membiarkan kita hidup tanpa hambatan, itu mungkin melumpuhkan kita. Kita mungkin tidak sekuat yang semestinya kita mampu. Kita mungkin tidak pernah dapat terbang. Saya memohon Kekuatan. Dan Tuhan memberi saya kesulitan-kesulitan untuk membuat saya kuat.
Saya memohon Kebijakan. Dan Tuhan memberi saya persoalan untuk diselesaikan. Saya memohon Kemakmuran. Dan Tuhan memberi saya Otak dan Tenaga untuk bekerja. Saya memohon Keteguhan hati. Dan Tuhan memberi saya Bahaya untuk diatasi. Saya memohon Cinta. Dan Tuhan memberi saya orang-orang bermasalah untuk ditolong. Saya memohon Kemurahan /kebaikan hati. Dan Tuhan memberi saya kesempatan-kesempatan. Saya tidak memperoleh yang saya inginkan, saya mendapatkan segala yang saya butuhkan.
~ Rahasia Komitmen ~
Sebuah khotbah menantang yang diambil dari kehidupan David Livingstone
"Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal"
(Matius 10:37 ; 19:29)

Rahasia Komitmen! Setiap orang di antara kita bertanggung jawab atas sesuatu. Allah telah memberikan bagi semua orang talenta – talenta tertentu, kemampuan, kekuatan, energi, dan waktu tertentu. Dan setiap orang di antara kita mengabdikan karunia-karunia kita untuk suatu tujuan tertentu, baik dengan pertimbangan seksama ataupun dengan sembrono. Dengan tegas Yesus Kristus menuntut komitmen hati kita. Sebuah contoh kehidupan yang sesungguhnya sepadan dengan komitmen total.

Kehidupan tersebut adalah kehidupan seorang pria, yang tidak diragukan lagi, adalah utusan injil paling terkenal dalam kurun waktu 500 tahun terakhir, seorang rasul bagi Afrika, DAVID LIVINGSTONE.
Livingstone kembali ke Inggris Raya pada masa cutinya yang pertama setelah 16 tahun berada di pedalaman Afrika. Dia diminta untuk berbicara di Universitas Glasgow. Barangkali dia akan menolak jika saja dia tahu apa yang sedang menantikan dia. Sudah menjadi kebiasaan para mahasiswa pada masa itu untuk mengganggu pembicara-pembicara yang datang, dan mereka sudah betul-betul siap untuk pembicara ini juga. Mereka membawa ketapel, terompet mainan, giring-giring, dan alat pembuat keributan lainnya yang dapat ditemukan.
Livingstone berjalan menuju podium dengan langkah seorang laki-laki yang telah berjalan 11000 mil. Lengan kirinya tergantung dengan lemah disisi tubuhnya, karena hampir saja terkoyak dari tubuhnya oleh serangan seekor singa besar. Kulit wajahnya coklat gelap akibat 16 tahun berada diibawah matahari Afrika. Wajah itu berkerut penuh garis-garis yang tidak terhitung jumlahnya karena demam Afrika yang merusak dan menguruskan tubuhnya. Dia telah diserang oleh orang-orang biadab dan oleh orang-orang Turki yang menjalankan perdagangan budak yg kejam. Telinganya setengah tuli akibat demam rematik dan dia setengah buta akibat cabang pohon yang menampar matanya di hutan.
Para mahasiswa terbelalak, dan mereka sungguh tahu bahwa di hadapan mereka adalah sebuah kehidupan yang dalam arti sesungguhnya benar-benar habis terbakar bagi Allah. Tidak ada giring-giring yang dibunyikan, tidak ada kaki yang bergeser. Keheningan menyelimuti aula besar itu dan mereka mendengarkan dalam kebisuan pada saat Livingstone mengisahkan perjalanannya dan tentang kebutuhan kebutuhan yang sangat luar biasa dari populasi Afrika yang besar.

"Saya akan memberitahukan kepadamu, suatu hal yang menopang saya di tengah-tengah semua kerja keras, penderitaan, dan kesepian yang sangat besar." Yaitu sebuah janji, janji dari seorang pria yang bermartabat paling luhur; yaitu janji ini : "Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman." (Matius 28:20) Inilah rahasia komitmen dari Livingstone. Sebuah ayat yang sangat sederhana, tidak membutuhkan pemahaman Alkitabiah yang rumit. Masalahnya sederhana saja: apakah kita percaya ? Livingstone percaya dan menemukan kekuatan yang tidak ada habis-habisnya dalam janji tersebut. "Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman. Aku menyertaimu, bukan hanya yang lain, tapi bersamamu. Aku menyertaimu hari ini, saat ini, dan selamanya." Livingstone percaya!
Dalam buku hariannya kita menemukan sebuah doa yang luar biasa, doa yang saya percaya menggambarkan kehidupan pria ini, sebuah doa rangkap tiga. Sebuah doa yang pada waktu mendoakannya, hampir menyebabkan kata-kata itu melekat di tenggorokanmu : "Tuhan, utus aku kemana saja, hanya sertailah aku. Letakkan beban apa saja atasku, hanya topanglah aku. Putuskan ikatan apa saja dari padaku, kecuali ikatan yang mengikatku kepada pelayanan-Mu dan kepada hati-Mu." Melalui semua itu datanglah kata-kata, "Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa."

"Utus aku ke mana saja," doa anak muda ini, yang lahir pada tahun 1813 di Blantyre, Scotland, dari orangtua yang takut akan Allah. Ayahnya adalah seorang guru Sekolah Minggu Presbitarian yang saleh, yang seringkali mendudukkan anak laki-laki kecilnya di hadapannya dan mengisahkan cerita-cerita yang mempesona tentang pahlawan-pahlawan iman yang besar dan tentang orang-orang yang telah membawa injil ke ujung-ujung dunia yang jauh. Secara khusus dia terpikat dengan cerita mengenai Charles Gutzlaff, dokter misionaris yang terkenal. Livingstone menetapkan hati bahwa dia akan menjadi seperti Gutzlaff. Namun beberapa tahun kemudian, Livingstone menemukan bahwa Gutzlaff sendiri mempunyai seorang pahlawan, yang bukan sekedar manusiabelaka, melainkan Anak Allah, seorang pahlawan yang bukan sekedar pahlawan belaka, melainkan JuruSelamat Ilahi. Maka, setelah memahami Injil, dia meletakkan iman dan kepercayaannya kepada Kristus yang mati di Kalvari, dan kehidupan Livingstone diubahkan.

Livingstone masuk ke sekolah kedokteran untuk mempersiapkan diri menjadi seorang dokter misionaris. Dia diwisuda, ditahbiskan, dan siap untuk berlayar, tetapi tiba-tiba pintu terkunci dihadapannya. Perang pecah dan ladang Tuhan tertutup. "Tuhan, Engkau berjanji untuk menyertai dan membimbingku. Mengapa Engkau meninggalkan aku ?" Sebuah suara menjawab, "David, Aku tidak meninggalkanmu. Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa. Tetapi Aku tidak mengutusmu ke Cina." (yaitu tujuan Livingstone semula). Salah satu dari sedikit utusan Injil yang telah pergi ke kawasan pantai Afrika adalah Robert Moffat, yang datang ke kota kediaman David pada masa cutinya dan berkhotbah. Dia mengatakan, "Seringkali, ketika aku memandang ke dataran yang sangat luas di Utara, di bawah sinar matahari pagi aku melihat asap dari seribu desa, yang tidak pernah didatangi satu pun utusan Injil."
Kata-kata itu melekat di hati Livingstone. AFRIKA ! "Utus aku ke mana saja." "Aku menyertai kamu senantiasa." Maka berlayarlah Livingstone ke Afrika. Dia terjun ke hutan dari arah selatan dan menemukan bahwa tempat itu tidak dapat ditembus. Dia kembali ke pantai dan berlayar ke pusat pantai barat Afrika dan memutuskan untuk menembus ke pedalaman dari sana. Setelah penderitaan yang tidak terhitung jumlahnya, akhirnya dia membuka jalan menuju ke pedalaman.

"Letakkan beban apa saja atasku," dan doa itu dijawab. Seekor singa besar hampir saja mengoyak lengannya lepas dari tubuhnya dan membuat dia lumpuh untuk selamanya. Tetapi hal itu membawa berkat terselubung, karena pada waktu dia dalam proses penyembuhan, Robert Moffat datang dan membawa anak perempuannya yang cantik, Mary. Bagi David dan Mary, itu adalah cinta pada pandangan pertama. Segera mereka menikah dan Mary berbagi semangat dan keprihatinannya untuk penginjilan di Benua Gelap Afrika. Sayangnya, bulan-bulan penuh penderitaan dan kerja keras itu terlalu berat buat Mary. Mereka melihat salah seorang anak mereka mati ketika mereka mencoba melintasi salah satu padang pasir Afrika yang luas. Sebuah beban yang hampir meremukkan Livingstone. Akhirnya, tibalah keputusan yang paling sulit dalam hidupnya : mengirimkan istri dan ketiga anaknya yang lain ke Inggris.
Betapa beratnya beban yang harus ditanggungnya. Mungkin yang paling menyakitkan dari semua itu adalah kritik yang mengatakan bahwa dia telah meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk berkelana di Afrika karena tidak benar-benar mencintai mereka. Betapa cepatnya orang-orang memberikan penilaian yang salah. Surat-suratnya mengungkapkan suatu cerita yang jauh berbeda:

"Maryku tersayang, aku tidak dapat melihat wajah yang dapat dibandingkan dengan wajah yang terbakar terik matahari itu yang seringkali menyalamiku dengan pandangannya yang ramah. Kumpulkan anak-anak di sekitarmu dan ciumlah mereka untuk aku. Dan katakan kepada mereka bahwa aku mencintai mereka, dan bahwa aku telah meninggalkan mereka karena kasih kepada Yesus, dan bahwa mereka harus mengasihi Dia juga"
Selama lima tahun penderitaan yang panjang dia tidak pernah melihat istri maupun anak-anaknya. Tetapi bayangan tentang ribuan desa di bawah sinar matahari pagi tetap menghantui dia dan mendorong dia pergi memproklamirkan Injil Kristus. Pada saat-saat ini, keberanian dan perasaan yang kuat bercampur baur dalam buku hariannya. "Aku tidak akan menyimpang sedikitpun dari pekerjaanku bila hidup masih tersisa.
Sasaranku yang terbesar adalah menjadi seperti Dia, dan menjadi serupa Dia, sepanjang Dia dapat ditiru. Tidak ada hal duniawi yang akan membuat aku putus asa. Aku membangkitkan keberanianku sendiri di dalam Tuhan Allahku dan maju terus" Dan dia terjun ke hutan, selalu dikuatkan dalam kesepiannya oleh kata-kata ini : "Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa." "Lepaskanlah setiap ikatan, kecuali ikatan yang mengikatku kepada pelayanan-Mu dan kepada hati-Mu." Salah seorang anaknya telah meninggal, keluarganya berada ribuan mil jauhnya.

Akhirnya, waktunya tiba ketika dia pulang ke rumah. Akhirnya rumah ! Dengan penuh pengharapan besar dan sukacita dia menyerbu masuk ke rumah lamanya di Blantyre dan menemukan rumah itu kosong. Mereka baru saja menguburkan ayahnya. Dan pria yang telah menghadapi tombak-tombak orang liar yang biadab dan auman binatang-binatang liar tanpa berkedip ini terjatuh dan meratap seperti seorang anak kecil. Tetapi Mary ada di sana. Apakah Mary masih mencintai dia ? Mungkin kita dapat menangkap sekilas isi hatinya pada saat kita membaca sebuah puisi yang ditulisnya untuk suaminya yang sudah kembali:
Seratus ribu selamat datang; betapa hatiku meluap-luap. Dengan kasih dan sukacita dan keheranan karena melihat wajahmu lagi. Bagaimana mungkin aku dapat hidup tanpa engkau selama ini, selama tahun kedukaan yang panjang ? Kelihatan seolah aku akan mati bila aku harus berpisah denganmu sekarang. Bulan-bulan berlalu dan persekutuan berjalan manis. Tetapi selalu kata-kata ini terngiang dalam pikirannya: "Pergi dan beritakanlah Injil." Dan mimpi-mimpinya dihantui visi tentang seribu desa di bawah sinar matahari pagi. Jadi dengan kesusahan hati yang besar, dia berlayar kembali ke Afrika.
Tahun-tahun berlalu, dan ketika anak-anak mereka sudah cukup dewasa, Mary menulis surat bahwa dia bisa datang untuk tinggal bersama dengan David. Selama berbulan-bulan Mary berlayar melintasi lautan lalu ke hulu sungai-sungai Afrika. Akhirnya disambut oleh suaminya, hanya untuk segera diserang demam Afrika yang memilukan. Livingstone mengesampingkan segala sesuatu yang sedang dilakukannya dan mencurahkan segenap keahlian medisnya untuk merawat dia. Malam demi malam, siang demi siang, dia duduk bersamanya dan menyeka dahinya yang panas. Lambat laun keadaannya memburuk dan dia menghembuskan nafas terakhir.

Mary meninggal dunia. David Livingstone menguburkan dia di bawah sebuah pohon yang besar dan menjatuhkan diri di atas gundukan tanah itu, dan sekali lagi dia meratap. Di situ muncul kembali di hatinya sebuah doa, "Lepaskan ikatan apa saja kecuali ikatan yang mengikatku kepada pelayanan-Mu dan kepada hati-Mu."
Badan Livingstone remuk, orang-orang yg dikasihinya telah pergi, dia kelihatan sendirian, kecil hati. Dapatkah dia mengatasinya ? Dalam buku hariannya tertulis "Yesusku, Rajaku, Hidupku, Segala-galanya bagiku, sekali lagi aku mengabdikan hidupku untuk-Mu ! Aku tidak menganggap bernilai segala sesuatu yang dapat kulakukan, kecuali dalam kaitannya dengan kerajaan Kristus." Dan melalui semua itu, kata-kata yang menopang ini : "Aku menyertai kamu senantiasa."

Ketika tiba di Ujiji, penduduk asli mencuri makanannya, dan yg terburuk dari semua itu, mereka mencuri kotak obat-obatannya yang berisi kina dan obat-obatan lain untuk menyembuhkan demam-demam yang mengerikan itu. Bagi Livingstone itu benar-benar berarti kematian, dan dia berseru, "Oh Allah, Engkau berjanji menyertaiku."
Selama 5 tahun dia tidak melihat wajah orang kulit putih, dan sekarang ditengah-tengah pedalaman Afrika, dia menengadah dari doanya dan melihat sebuah wajah kulit putih berjalan menghampirinya. Di belakang pria kulit putih ini ada suatu kafilah lengkap dan di atasnya berkibar sebuah bendera Amerika. Pria itu adalah Henry M.Stanley, dia berkata, "Dr. Livingstone, kalau saya tidak salah ?"
Dia diutus oleh James Gordon Bennet dari harian New York Herald untuk menemukan David Livingstone. Kata Bennet, "Mereka mengatakan bahwa Livingstone sudah mati. Saya percaya bahwa dia ada ditengah-tengah Afrika terhilang, sakit dan terkucil. Stanley, carilah dia. Bawa dia kembali ke peradaban. Tidak peduli berapapun harganya"
Stanley mencari sampai menemukannya, membawa obat-obatan dan makanan lengkap, serta merawat dia sampai sehat kembali. Selama 4 bulan Stanley tinggal bersama Livingstone dalam satu pondok. Stanley menggambarkan dirinya sendiri sebagai berikut :
"Aku adalah seorang ateis paling angkuh di seluruh dunia ini." Tapi dia tetap menuruti amanat dari Bennet untuk mencari Livingstone. Livingstone juga menuruti amanat dari Allah "Umat-Ku terhilang, sakit, menderita, dan terkucil. Pergi dan bawalah mereka kembali dan jangan pernah menghitung-hitung ongkosnya. Orang seperti apakah Livingstone? Stanley yang hidup dalam satu pondok dengan pria ini selama 4 bulan, mengatakan bahwa pria ini jelas bukanlah seorang malaikat, tetapi Stanley tidak dapat menemukan kesalahan dalam hidupnya. Belas kasihnya, kesungguhannya, ketenangannya pada saat dia menjalankan tugasnya, rasa simpatinya yang ditunjukkannya kepada semua orang di sekitarnya, membangkitkan simpati dalam hatinya sendiri dan dia berkata, "Akhirnya, setelah berbulan-bulan ini, Livingstone bahkan membuat saya bertobat kepada Kristus."Bagaimanapun, Livingstone tidak mau kembali ke peradaban, tetapi terjun lebih dalam lagi di Afrika. Dan bagi dia akhir perjalanannya sudah dekat. Buku hariannya mengatakan : "Tuhan, tolong aku untuk menyelesaikan pekerjaan-Mu tahun ini bagi kehormatan-Mu." Dan itulah yang dilakukannya, dia tiba di tempat di mana seluruh kekuatannya habis, kakinya luka dan bernanah karena bisul. Selama berbulan-bulan dia tidak punya apa-apa untuk dimakan kecuali jagung kering yang keras, dan perlahan-lahan semua giginya mulai goyang dan tanggal. Dia ditinggalkan oleh semua orang kecuali 3 pengikutnya, termasuk Suzi dan Chumah (yang membawa jasad Livingstone kembali ke Inggris). Dia tidak dapat berjalan atau berdiri, dia tidak dapat maju satu langkah pun. Inikah akhir dari perjalanan Livingstone ? Tidak ! Livingstone menyuruh teman-temannya meletakkan dia di atas tandu dan mengusungnya maju. "Aku tidak akan menyimpang sedikitpun dari pekerjaanku selama hidupku masih tersisa." Dengan bersandar di tandunya yang ditegakkan, dia memproklamasikan kekayaan Injil Yesus Kristus kepada semua orang yang ditemuinya.
Tibalah suatu hari ketika dia bahkan tidak bisa digerakkan. Hujan lebat tercurah ! Sebuah pondok kecil cepat-cepat didirikan. Livingstone terbaring di atas tempat tidur kecilnya. Tengah malam, pembantunya berbaring di pintu masuk untuk mencegah masuknya binatang-binatang liar. Ia mendengar Livingstone bergerak dan melihat dia dengan penuh penderitaan berguling dari tempat tidurnya, dan berlutut dengan tangannya terlipat dalam doa. Anak laki-laki itu kembali tidur. Di pagi hari dia melihat Livingstone masih berdoa.
Beberapa utusan datang meminta pertolongannya, dan anak laki-laki ini memberitahu mereka bahwa Livingstone masih berdoa, supaya mereka jangan mengganggunya berdoa. Akhirnya dia sendiri menjadi kuatir dan berbisik kepadanya, "Bwana (Tuan)." Tidak ada jawaban. "Bwana." Hening. Dia merangkak mendekatinya dan menyentuh pipinya yang sudah dingin.
Livingstone meninggal di atas lututnya dalam doa. 39 tahun dia berjalan dengan susah payah menempuh 29000 mil di permukaan benua Afrika. Terang yang bersinar dalam kegelapan. 2 juta orang Afrika dibawa kepada Injil, dan terang itu terus bercahaya. Dalam setiap langkahnya dia dikuatkan dan ditopang oleh janji "Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa." (Oleh: Dr. D. James Kennedy)

~ Seekor Semut dan Sebuah Softlens ~

Brenda adalah seorang gadis muda yang diajak mendaki tebing oleh teman-temannya. Walau sebenarnya ia takut melakukannya, ia memutuskan utk tetap pergi bersama mereka mendaki sebuah tebing granit yg curam.

Di luar rasa takutnya itu, ia memasang perlengkapannya, berpegang pada tambang dan kemudian memulai pendakian.

Akhirnya ia sampai pada suatu pijakan di mana ia bisa menarik nafas sejenak. Tetapi di saat ia tengah berhenti, secara tidak sengaja matanya terbentur tali pengaman yang terikat di tubuhnya sehingga membuat soft-lensnya terlepas.
Ia tengah di suatu pijakan tebing yang berada ratusan meter di atas tanah dan ratusan meter pula tebing di atasnya yg masih harus didaki. Ia melihat dan melihat sekelilingnya, sambil berharap dapat menemukan soft-lensnya yg terlepas itu, tapi ternyata ia tidak dapat menemukannya.
Ia berada jauh dari rumah dan penglihatannya skrg buram. Ia putus asa dan mulai merasa gelisah, kemudian ia mulai berdoa kpd Tuhan agar menolongnya menemukan soft-lens itu.
Ketika ia sampai di puncak tebing, temannya membantu mencari dengan memeriksa bajunya dengan harapan dpt menemukannya, tetapi soft-lens itu tetap tdk dpt ditemukan, Ia duduk dgn perasaan yg hilang pengharapan, beristirahat dgn sebagian rombongan sambil menunggu rombongan lainnya.
Sambil termenung, Brenda melihat gunung2 di sekitarnya, tiba-tiba teringat olehnya sepotong bagian dari ayat Alkitab yg tertulis "mata Tuhan menjelajah seluruh bumi" ( 2 Tawarikh 16:9 ) Ia kemudian berdoa di dlm hatinya, "Tuhan, Engkau dpt melihat semua gunung2. Engkau juga mengetahui setiap daun dan batu yang ada di gunung ini, dan Engkaupun tahu dgn pasti di mana soft-lensku berada. Ya Tuhan, tolonglah aku."
Akhirnya mereka turun ke bawah melalui jalan yg kecil. Sesampainya di bawah, mereka bertemu dgn rombongan lain yg baru mau memulai pendakian. Tiba2 seorang dari mereka berteriak, "Halo teman, adakah di antara kalian yang kehilangan soft-lens?"
Tentu saja hal ini cukup mengejutkan, tetapi tahukah anda bagaimana pendaki itu menemukannya ?
Pendaki itu melihat seekor semut kecil sedang bergerak secara perlahan di permukaan tebing sambil membawa sebuah soft-lens.
Brenda memberitahukan saya bhw ayahnya adalah seorang kartunis. Ketika bercerita kepada ayahnya mengenai kejadian luar biasa ttg seekor semut, doa dan soft-lensnya yg hilang, ayahnya kemudian menggambar sebuah kartun ttg seekor semut memikul sebuah soft-lens dengan tulisan, "Tuhan, aku tidak tahu mengapa Engkau menginginkan aku utk membawa benda ini. Saya tidak dapat memakannnya dan benda ini sangatlah berat. Tetapi bila itu memang kehendakMu, aku akan membawakannya untukMu."
Tuhan Yesus telah merendahkan diriNya dan rela menderita menanggung semua beban dosa kita. Biarlah kita juga belajar merendahkan diri, sehati sepikir, dlm satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan.
Adakalanya dlm keadaan yg sukar, kita dapat belajar utk berseru, "Tuhan, saya tidak mengerti mengapa Engkau menginginkan saya memikul beban ini. Saya tidak melihat ada hal yg berguna di dlmnya dan beban ini sangatlah berat. Tetapi kalau ini adalah kehendakMu, saya akan melakukannya."
Janganlah meminta pelayanan sesuai kekuatan kita, tetapi............ mintalah kekuatan sesuai dengan pelayanan kita.
A true story by Josh & Karen Zarandona


~ Gembala Yang Jadi Tukang Rombeng ~

Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya (Yohanes 10:11).
Untuk orang seperti siapakah Dia datang? Untuk bilangan waktu manakah Dia menjelang? Berikut adalah kisah yang menunjukkan kepada siapa dan kapan Dia akan datang. Semuanya, hanya satu saja dasarnya: Cinta!
Menjelang fajar, pada suatu hari Jumat, saya melihat seorang pria muda, tampan, dan kuat, berjalan di lorong-lorong kota kami. Dia menarik gerobak yang penuh dengan pakaian baru sambil berseru dengan suara nyaring, "Rombeng!" Ah, udara berbau busuk dan cahaya yang muram itu dilintasi olehsuara musik yang indah.
"Rombeng! Baju lama ditukar baju baru! Saya menerima baju rombeng! Rombeng!"
"Sekarang inilah keajaiban," pikir saya dalam hati, karena pria ini tinggi besar, dan lengannya kukuh seperti dahan pohon, keras dan berotot. Matanya menyorotkan kecerdasan. Apakah dia tidak dapat mencari pekerjaan yang lebih baik sehingga memilih menjadi tukang rombeng di kota yang kumuh?
Saya mengikutinya karena keingin­tahuan saya yang besar. Dan, saya tidak kecewa.
Tukang rombeng itu melihat seorang wanita duduk di beranda belakang. Dengan saputangan menutupi wajahnya, dia menangis, mengeluh dan mencucurkan ribuan tetes air mata. Lutut dan sikunya membentuk huruf X. Bahunya bergetar. Hatinya hancur.
Tukang rombeng itu menghentikan gerobaknya. Dengan tenang, dia meng­hampiri wanita itu sambil menginjak kaleng-kaleng kosong, mainan rusak, dan barang rongsokan lainnya.
"Berikan barang rombengmu," ujar tukang rombeng itu dengan sabar, "dan saya akan memberimu barang baru."
Tukang rombeng itu melepaskan sapu­tangan dari mata wanita itu. Wanita itu memandangnya, dan tukang rombeng itu meletakkan sebuah saputangan linen yang baru dan bersih ke telapak tangannya. Mata wanita itu beralih dari pemberian itu ke pemberinya.
Kemudian, saat tukang rombeng itu menarik gerobaknya kembali, dia mela­kukan hal yang aneh: Dia mengusapkan saputangan yang penuh noda itu ke wajahnya sendiri, dan kemudian dia mulai menangis. Dia menangis begitu kerasnya seperti wanita itu sehingga pundaknya bergetar. Namun, wanita itu tidak lagi menangis.

"Ini ajaib," ujar saya kepada diri saya sendiri, dan saya mengikuti tukang rom­beng seperti seorang anak yang ingin membongkar suatu misteri.
"Rombeng! Rombeng! Baju tua saya ganti dengan baju baru!"
Tidak lama kemudian, ketika matahari makin tinggi, tukang rombeng itu men­datangi seorang gadis yang kepalanya dibalut. Mata gadis itu menatap kosong. Darah membasahi perbannya. Aliran darah mengalir di pipinya.
Sekarang, tukang rombeng yang tinggi itu menatap gadis itu dengan rasa kasihan, dan dia mengeluarkan topi wanita dari gerobaknya. "Berikan perbanmu," ujarnya, "dan saya akan memberimu sebuah topi baru."
Anak gadis itu hanya dapat menatap tukang rombeng dengan heran ketika dia mulai melepaskan perban dari kepalanya dan memasangnya di kepalanya sendiri. Kemudian, dia memasang topi baru itu di kepala gadis kecil itu. Dan, saya terpe­rangah dengan apa yang saya lihat. Seka­rang, ganti kepala tukang rombeng itu yang terluka. Di alisnya mengalir darah segar, darahnya sendiri!
"Rombeng! Rombeng! Saya menerima barang rombeng!" teriak tukang rombeng yang kuat, cerdas tetapi menangis dan berdarah.
Matahari menyilaukan mata saya dan tukang rombeng itu tampak semakin tergesa-gesa.
"Apakah kamu mau bekerja?" tanyanya kepada seorang yang bersandar di tiang telepon. Pria itu menggelengkan kepalanya.
Tukang rombeng itu mendesaknya, "Apakah kamu memiliki pekerjaan?" "Kamu gila ya?" ujar orang itu sambil menyeringai. Dia tidak lagi bersandar di tiang telepon, tetapi membuka lengan bajunya dan menarik tangannya dari kantung jaketnya. Dia tidak mempunyai tangan.
"Berikan jaketmu kepada saya dan saya akan memberimu jaket saya," perintah tukang rombeng itu.Suaranya memancarkan otoritas! Pria buntung itu melepaskan jaketnya. Demikian juga tukang rombeng itu. Dan, saya gemetar mengetahui apa yang saya lihat: lengan tukang rombeng itumelekat di jaketnya dan ketika pria buntung itu mengenakan jaket, lengan itu terpasang di pundaknya. Sekarang, tukang rombeng itu buntung sebelah tangannya.
"Pergilah bekerja," ujar tukang rombeng itu.
Setelah itu, tukang rombeng menjum­pai seorang pemabuk yang berbaring pingsan di bawah selimut tentara. Pema­buk itu tampak tua dan memprihatinkan. Tukang rombeng itu mengambil selimut pemabuk itu dan membungkuskannya ke tubuhnya sendiri, lalu menyelimuti pemabuk tua itudengan selimut baru.
Dan, sekarang saya harus berlari supaya bisa mengikuti tukang rombeng itu. Meskipun dia menangis menjadi-jadi, darah bercucuran di wajahnya, menarik gerobak dengan satu lengan, tersandung, terjatuh berkali-kali, kelelahan, tua dan sakit, dia melangkah dengan kecepatan tinggi. Dengan "kakilaba-laba" dia me­nyusuri lorong-lorong kota itu.
Saya terkejut melihat perubahan pria ini. Saya sedih melihat penderitaannya. Meskipun demikian, saya ingin melihat ke mana dia pergi dengan begitu tergesa-gesa dan saya juga ingin mengetahui apa yang membuatnya melakukan semua ini.
Tukang rombeng yang sekarang bertu­buh kecil dan tua itu pergi ke suatu tempat. Dia menghampiri sebuah lubang sampah. Saya ingin membantunya mengerjakan apa pun, namun saya menarik diri dan bersem­bunyi. Dia mendaki sebuah bukit. Dengan usaha yang keras, dia membersihkan sebuah tempat di bukit itu. Kemudian, dia menarik napas. Dia berbaring. Dia memakai sebuah saputangan dan jaket sebagai bantalnya. Dia menutupi tulang-tulangnya dengan selimut tentara. Dan, dia mati.
Oh, saya menangis menyaksikan kema­tian seperti itu! Saya masuk ke sebuah mobil rongsokan dan menangis serta meratap seperti seorang yang tidak punya harapan, karena saya mulai mencintai tukang rombeng itu. Setiap wajah yang saya kenal memudar ketika saya melihat wajah tukang rombeng itu. Saya sangat menghar­gai tukang rombeng itu, tetapi dia mati. Saya menangis terus sampai jatuh tertidur.
Saya tidak tahu - bagaimana saya bisa tahu? - bahwa saya tidur melewati Jumat malam dan Sabtu malam.
Tetapi kemudian, pada Minggu pagi, saya tersentak bangun.
Cahaya - sinar yang murni - meng­hunjam wajah saya yang kecut, dan saya mengerjapkan mata saya. Saya melihat keajaiban yang terakhir dan pertama. Tukang rombeng itu bangun, melipat selimutnya dengan amat hati-hati. Ada goresan luka di dahinya, namun dia hidup! Di samping itu, dia juga sehat!Tidak ada kesan sedih atau tua di wajahnya, dan semua rombengan yang berhasil dikum­pulkannya tampak bersih dan bersinar.
Saya tidak sanggup menatap semua itu lagi. Saya gemetar melihat semua itu. Saya berjalan mendekati tukang rombeng itu. Saya memberi tahu nama saya dengan rasa malu, karena saya adalah makhluk yang patut dikasihani di depannya. Kemudian, saya melepaskan pakaian saya di tempat itu, dan sayaberkata kepadanya dengan penuh permohonan, "Beri saya pakaian baru."
Dia memakaikan pakaian baru di tubuh saya. Saya menjadi ciptaan baru di ta­ngannya. Tukang rombeng itu, tukang rombeng itu, tukang rombeng itu adalah Kristus!
(Walter J. Wangerin, "Ragman.")
Sumber:
100 Kisah yang Menggetarkan Jiwa Anda, oleh Xavier Quentin Pranata, penerbit
Yayasan ANDI, Yogyakarta 2000